Jumat, 10 Mei 2013


Topik     :  Upacara Adat Masyarakat Solo, Boawae, Nagekeo, Flores.
Tujuan   :   Memotivasi dan mendorong kaum muda Solo, Boawae, Nagekeo  untuk mengenal
Dan menghargai serta melestarikan Budaya  khususnya adat Juja Ngi’i.
Tesis    :   Upacara adat masyarakat Solo,Boawae, Nagekeo terus dikenal dan dilestarikan guna    menjaga agar budaya tidak punah dan Hilang
Kerangka Karangan
I.                   Pendahuluan

II.                Isi
1.      Persiapan
1.1. Perhitungan Anggaran
1.2. Undangan kepada Keluarga Dan Masyarakat
1.3. Pembentukkan Panitia

2.      Upacara Juja Ngi’i Berlangsung
2.1. Kobe Riko Dhea
2.2. Upacara Juja Ngi’i dilakukan
2.2.1.      Doa Kepada Leluhur
2.2.2.      Waktu dan Tempat Upacara
2.2.3.      Juja Ngi’i
2.2.4.      Penerimaan Kembali Anak Gadis Oleh Kedua Orang Tua
2.3.Makan Bersama
3.      Juja Ngi’i Berakhir
3.1.Kobe Pa’i Foi
3.2. Pembubaran Panitia

III.             Penutup






I.                  PENDAHULUAN


Upacara adat merupakan rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu  yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat.[1]
 Juja Ngii merupakan salah satu upacara adat bagi kaum wanita yang ada dalam  masyarakat Solo, Boawae, Kabupaten Nagekeo, Flores- Nusa Tenggara Timur. Juja ngii berasal dari kata juja yang artinya gosok dan ngii artinya gigi. Jadi juja ngii artinya gosok gigi. Namun juja ngii bukan berarti gosok gigi seperti yang biasa kita lakukan setiap hari dengan menggunakan sikat dan pasta gigi tetapi menggosok gigi dengan menggunakan “batu asahan”. Sehingga banyak orang menyebutnya ‘potong gigi’ daripada ‘gosok gigi’.
Upacara adat juja ngii hanya dikhususkan bagi seorang remaja puteri yang sudah mengalami haid atau sekitar umur 12-15 tahun. Tujuan juja ngii adalah untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa gadis tersebut sudah dewasa menurut adat, dan boleh di lamar oleh laki-laki.
Adat setempat melarang keras, seorang gadis yang belum juja ngii untuk menikah. Apabila terjadi pelanggaran (misalnya ; seorang gadis hamil) dan belum juja ngii maka kedua orang tua
nya harus membuat upacara “para wela”. [2]
Alasan mendasar penulis memilih tema ini,selain untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan komposisi, juga mendorong kaum muda Solo, Boawae, Nagekeo dan pembaca di mana saja, untuk mengenal dan menghargai adat istiadat secara khusus upacara adat  juja ngi’i.
Karya tulis ini dibagi dalam tiga bab. Bab satu disajikan perihal persiapan upacara Juja Ngi’i oleh pihak keluarga dan didukung oleh masyarakat setempat.Kemudian pada bab dua, penulis akan memaparkan proses berlangsungnya upacara Juja Ngi’i. Dan dalam bab tiga, penulis akan membahas akhir dari rangkaian upacara Juja Ngi’i, yang ditandai dengan pembubaran panitia upacara.
II.       ISI
A.Persiapan.
Upacara adat Juja Ngi’i hanya dikhususkan bagi seorang remaja puteri yang sudah mengalami haid atau berkisar dari umur 12-15 tahun.Tujuan dari juja ngi’i adalah untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa gadis tersebut sudah dewasa menurut adat dan boleh dilamar oleh laki-laki. Adat setempat melarang keras seorang gadis yang belum juja ngi’i untuk menikah.Apabila terjadi pelanggaran ( misalnya seorang gadis hamil sebelum juja ngi’i ) maka kedua orang tuanya harus membuat  upacara para wela.
Upacara adat juja ngi’i biasanya berlangsung pada musim panas yaitu sekitar bulan juni-november. Ketika seorang ibu mengetahui bahwa remaja puterinya mulai beranjak dewasa,  maka ia akan berunding dengan suaminya saat yang tepat untuk pelaksanaan upacara adat juja ngi’i. Selain itu sebagai seorang ibu ia juga menjelaskan kepada puterinya, tentang pentingnya upacara adat juja ngi’i.Hal ini penting untuk persiapan bagi sang puteri menyiapkan diri lahir dan batin menyambut upacara adat juja ngi’i.
1.1.Perhitungan Anggaran
Upacara adat yang melibatkan seluruh masyarakat kampung,akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari makan minum sampai sirih pinang harus dipersiapkan oleh pihak keluarga.Anggaran suatu upacara adat biasanya nampak pada barang-barang yang dipersiapkan pihak keluarga.barang-barang itu seperti; beras, hewan kurban,( babi, anjing, kambing, ayam), kain adat,tuak, rokok, dan sirih pinang. Semua anggaran ini diperhitungkan dan dipersiapkan pihak keluarga, setahun sebelum upacara adat juja ngi’i berlangsung.
1.2.Undangan kepada keluarga dan masyarakat
Setelah pihak keluarga menyiapkan anggaran,tahap berikut adalah mengundang keluarga dari pihak ibu atau biasa disebut  mori ga’e [3] dan keluarga bapak atau biasa disebut ana weta.[4] Pihak mori ga’e hanya terdiri 5 – 7 kepala keluarga. Sedangkan pihak ana weta terdiri dari 10 – 20 kepala keluarga. Pihak ana weta yang diundang tidak hanya keluarga dekat tetapi juga keluarga jauh.Undangan biasanya disampaikan secara lisan, dengan mengunjungi keluarga yang akan diundang. Selain keluarga dekat, undangan juga ditujukan kepada Ulu eko.[5] Pihak keluarga akan memberitahukan kepada kepala kampung, selanjutnya diumumkan kepada masyarakat saat ibadah lingkungan atau ibadah hari minggu.Undangan kepada keluarga dan  ulu eko diadakan satu bulan sebelum upacara juja ngi’i berlangsung.
1.3.Pembentukan Panitia
            Dalam suatu upacara adat yang melibatkan banyak orang, dibutuhkan panitia untuk mengkoordinir jalanya sebuah upacara. Ketua panitia beserta anggotanya akan memperhatikan kelancaran upacara. Apabila ada sesuatu yang kurang, ketua panitia akan berkonsultasi dengan pihak keluarga untuk mencari jalan keluar terbaik, demi suksesnya upacara tersebut. Pemilihan ketua panitia dilakukan secara aklamasi. Orang yang diaanggap mampu mengayomi masyarakat akan dipercayakan sebagai ketua panitia. Setelah pemilihan ketua panitia dilanjutkan dengan pembagian seksi kerja. Setiap orang yang dipercayakan untuk menangani salah satu seksi kerja akan bertanggung jawab  terhadap semua tugas yang menyangkut dengan seksinya.
B.Upacara juja ngi’i berlangsung.
1.kobe riko dhea.
            Pada hari yang ditentukan semua keluarga dan masyarakat mulai berdatangan ke sa’o pu’u.[6] Pada hari pertama, acara dimulai jam 20.00. Malam pertama disebut kobe riko dhea. Kobe artinya malam, riko artinya kumpul dan dhea artinya beras. Kobe riko dhea artinya malam pengumpulan beras.Namun bukan hanya beras yang dikumpulkan tetapi juga semua barang- barang yang dibawa oleh keluarga besar.Pihak ana weta membawa beras,rokok, kue, kopi-gula, sirih pinang, tuak, ayam,anjing dan kambing. Pihak mori ga’e masing-masing kepala keluarga akan membawa babi besar dan kain adat.Ukuran babi bervariasi.Semua barang yang dibawakan oleh pihak ana weta dan mori ga’e dikumpulkan di sa’o pu’u. Selanjutnya pihak keluarga akan menyerahkan babi dua ekor kepada pihak ana weta untuk dimasak dan dibantu oleh ulu eko. Sedangkan untuk pihak  mori ga’e  masing-masing keluarga mendapat kambing atau anjing dan mereka akan memasak sendiri apa yang diberikan oleh sa’o pu’u. Sedangkan nasi dimasak dirumah induk oleh  ulu eko.Yang unik dalam memasak nasi untuk  kobe riko dhea , yakni nasi dimasak dalam dua jenis. Jenis yang pertama ditanak matang dan dimakan pada saat makan malam bersama, sedangkan jenis yang kedua ditanak setengah matang untuk dibagi-bagikan kepada pihak ana weta.Setelah semua makanan selesai dimasak,acara selanjutnya adala regha ana weta.[7]  Ketua panitia beserta salah satu anggota keluarga dari sa’o pu’u akan menuju rumah penginapan ana weta untuk membagi ripe.[8] Masing-masing kepala keluarga akan mendapat satu ripe. Bagi ana weta yang membawa barang besar seperti kambing atau anjing akan mendapat dua ripe.Setelah pembagian ripe selesai, akan dilanjutkan dengan pembagian makanan.Pertama seorang ibu akan membagi nasi setengah matang lalu menyusul pembagian daging babi. Bagi ana weta yang membawa beras,kopi,kelapa, rokok,kue,sirih pinang akan mendapat nasi setengah matang dan daging babi yang sudah dimasak. Sedangkan mereka yang membawa kambing, anjing, atau ayam jantan akan ditambah dengan daging babi yang masih mentah sebesar kepalan orang dewasa.
2.      Upacara  Juja ngi’i dilakukan.
Keesokan harinya sekitar jam 08.00 ulu eko kembali ke sa’o pu’u untuk bekerja sesuai dengan seksi yang dibagikan. Ketua panitia dan kepala keluarga dari sa’o pu’u akan berunding, kira- kira berapa hewan yang akan dibunuh. Dihari yang kedua ini daging dimasak gabung artinya tidak ada pemisahan antara ana weta dan mori ga’e seperti pada kobe riko dhea. Ulu eko akan bekerja sesuai dengan seksinya masing- masing.
Ketua Panitia akan memilih seorang bapak yang berpengalaman dalam juja ngi’i dan lima orang ibu. Keenam orang ini adalah tim khusus untuk memandu upacara juja ngi’i. Ibu- ibu akan menyiapkan bahan yang diperlukan dalam juja ngi’i seperti batu asah, sepotong kayu dari pohon enau ukuran 5-6 cm , beberapa helai kecil kain adat, dan tempurung kelapa. Remaja puteri yang menjadi pemeran utama dalam upacara juja ngi’i mengenakan pakaian adat. Selain remaja puteri, anggota tim ini juga akan mengenakan pakaian adat. Ibu- ibu mengenakan baju adat dan kain adat dililit sebatas pinggang ke bawah demikian juga dengan bapak yang menjadi anggota tim mengenakan pakaian adat pria, sedangkan remaja puteri mengenakan kain adat dengan menutup dari punggung sampai ke mata kaki. Hal ini sebagai bukti bahwa remaja puteri tersebut belum pernah juja ngi’i. Pihak keluarga menyediakan satu buah kelapa muda dan satu ekor anak ayam. Pada bagian atas kelapa muda dilubangi, ayam disembelih dan darahnya dimasukkan ke dalam buah kelapa.
a.       Doa Kepada Leluhur
Dalam ruang tengah sa’o pu’u, remaja puteri dan anggota tim berkumpul bersama kedua orang tua sang puteri, membentuk posisi duduk setengah lingkaran. Dihadapan mereka duduk seorang kepala adat sambil memegang buah kelapa. Lalu kepala adat mereciki mereka dengan air kelapayang sudah tercampur dengan darah ayam. Selama percikkan berlangsung keala adat mengucapkan kata- kata adat ( berupa doa ) yang ditujukan kepada mori tana[9] dan ebu kajo[10]. Dalam upacara adat, masyarakat setempat menyebut mori tana sedangkan dalam upacara kegerejaan, masyrakat menyebut Ga’e dewa.[11]
Perciikan campuran air kelapa muda dan darah ayam ini, mau mengatakan kepada mori tanah dan ebu kajo bahwa semoga tuhan memelihara,dan melindungi dalam perjalanan hidupnya.Tujuan lain dari percikan ini adalah agar proses upacara adat juja ngi’i dapat berjalan lancar sesuai rencana.Setelah proses ini selesai, anggota tim dan remaja puteri berpamitan dengan kedua orangtuanya dan kepala adat lalu menuju ke tempat juja ngi’i berlangsung.
b.      Waktu dan Tempat Upacara
          Waktu untuk juja ngi’i, tidak ada aturan yang baku. Biasanya waktu juja ngi’i tergantung persiapan dari  pihak keluarga dan anggota tim yaitu sekitar jam 09.00- 11.00. Tempat upacara juja ngi’i adalah di salah satu rumah ulu eko yang agak jauh dari sa’o pu’u. Tujuanya adalah tidak dilihat orang dan jauh dari keramaian.
c.       Juja ngi’i
Dalam perjalanan menuju tempat proses juja ngi`i, didahului oleh seorang ibu sebagai penunjuk jalan, disusul remaja puteri, lalu ibu – ibu yang lain sambil menjinjing tikar dan bantal, serta yang terakhir seorang bapak sebagai pemotong gigi. Sampai di rumah yang dituju tikar dibentang dan remaja putri tidur telentang di atasnya. Sepotong kayu dari enau ukuran dua jari orang dewasa dimasukan ke dalam mulut dan digigit oleh remaja putri tersebut. Selai kayu dibantu oleh seorang ibu untuk mendorong bibir bagian atas dengan sehelai kain adat dan ibu yang lain mendorog bibir bagian bawah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses juja ngi`i. Seorang ibu lain bertugas memegang tempurung kelapa untuk menadah ludah yang dibuang, sebagian ibu yang lain membantu menahan kaki dan tangan remaja putri tersebut, kala – kalau ia berontak saat juja ngi`i berlangsung.
Setelah semua anggota tim berada pada posisi masing – masing, juja ngi`i segera berlangsung. Gigi sang remaja putri dipendekan dengan batu asah. Bapak yang bertugas untuk juja ngi`i menggosok secara berulang – ulang sampai semua gigi sama pendek atau terlihat sesuai dengan gigi yang lain. Setelah itu gigi digosok lagi untuk menipiskan permukaan gigi. Juja ngi`i akan berlangsung cepat jika remaja puteri tersebut tenang mengikuti apa yang disampaikan anggota tim. Selama proses juja ngi`i berlangsung  remaja – remaja puteri yang belum juja ngi`i , tidak boleh menyaksikan upacara tersebut. Apabila dilanggar, mereka akan mengalami kesulitan dalam upacara juja ngi`i mereka di kemudiam hari. Kesulitan tersebut antara lain; gigi akan berdarah, bahkan tercopot dari rahangnya.
Setelah upacara juja ngi`i selesai dilakukan, semua perlengkapan upacara juja ngi`i, yaitu sepotong kayu, kain kecil, tempurung kelapa dibawa pulang  dan dikuburkan di belakang rumah sang puteri yang telah menjadi gadis tersebut. Sedangkan batu asah disimpan oleh pemotong gigi untuk juja ngi`i remaja puteri lain.
d.      Anak Gadis Diterima Kembali Oleh Kedua Orang Tuanya.
Dalam perjalanan pulang puteri tersebut mengenakan kain adat, tidak seperti sebelumnya, tetapi hanya melilit sebatas pinggang kebawah layaknya seorang ibu. Hal ini sebagai bukti bahwa Ia bukan remaja lagi melainkan sudah menjadi gadis dewasa. Posisi jalan didahului sang gadis, menyusul lima orang ibu dan seorang bapak paling belakang. Sampai di depan pintu Sa`o pu`u  mereka disambut oleh kedua orang tua gadis dan kepala adat. Mereka duduk di ruang tamu, dengan posisi lingkaran penuh, boleh bersantai – santai makan sirih pinang atau merokok. Bersama anggota tim, sang gadis, tua adat, mereka meneguhkan upacara juja ngi`i dengan makan siang bersama.
3.      Makan bersama
Setelah anggota tim juja ngi`i makan bersama, acara selanjutnya adalah makan bersama. Makan siang di hari kedua berbeda  dengan makan malam saat kobe riko dhea. Seluruh ulu eko, mori ga`e, ana weta dan semua orang yang mengambil bagian dalam upacara adat juja ngi`i, duduk dan makan bersama – sama mendyukuri upacara ada tersebut. Setelah makan siang, beberapa anggota ulu eko dari rumah ke rumah membagi makanan berupa nasi dan daging, masing – masing satu piring untuk satu keluarga. Pembagian makanan dari ulu-kampung samapai ke eko- kampung. Hal ini merupakan suatu ungkapan dan harapan semoga sang gadis yang baru merayakan upacara juja ngi`i mendapat berkah yang melimpah dalam perjalanan hidup selanjutnya.

C.  Juja Ngi’i Berakhir

Setelah makan siang, mori ga`e dan ana weta pulang ke rumah masing – masing dan kembali lagi ke sa`o pu`u pada malam hari. Ulu eko akan memasak makan untuk acara pada malam harinya.
1.      Kobe Pa’i Foi[12]
            Upacara untuk mensyukuri upacara juja ngi’i berpuncak pada malam kedua. Malam kedua disebut Kobe Pa’i Foi. Ketika semua orang berkumpul, acara makan malam dimulai.Setelah makan malam dilanjutkan dengan meniup foi. Orang yang berpengalaman akan meniup foi sedangkan yang lain akan berpantun sesuai irama.Bapak-bapak berpantun menyindir ibu- ibu, begitu juga sebaliknya.Orang muda juga tidak ketinggalan. Mereka berpantun menyindir antar orang muda.Kobe pa’i foi sebenarnya malam yang ditunggu- tunggu kaum muda. Mereka berkumpul, berpantun dan berbagi cerita. Dengan adanya kobe pa’i foi, cinta kasih antara pemuda dan pemudi dengan sendirinya akan tumbuh. Ada rasa persahabatan antara yang satu dengan yang lain. Dari pertemuan seperti ini ada muda –mudi yang merajut persahabatan mereka menuju ke jenjang perkawinan.
            Dalam Kobe Pa’i foi, semua orang berpantun sambil minum tuak dan makan daging. Syair- syair pantun seakan –akan tidak pernah habis. Kobe Pa’i foi akan berlangsung, sampai menjelang matahari terbit. Dengan terbitnya matahari pada hari ketiga, maka berakhirlah upacara adat juja ngi’i.
2.  Panitia Dibubarkan
            Setelah semua upacara adat juja ngi’i berakhir, ketua panitia dan keluarga dari sa’o pu’u akan menentukan suatu malam untuk mengevaluasi semua kegiatan upacara juja ngi’i. Dalam malam evaluasi semua ulu eko hadir, kemudia setiap seksi akan mempertanggung jawabkan semua pekerjaan yang mereka lakukan. Pihak keluarga akan mengucapkan terimah kasih kepada ketua panitia dan ulu eko. Setelah malam evaluasi berakhir, semua orang pulang ke rumah masing- masing.














III.           PENUTUP
Perkembangan zaman seakan tidak menyurutkan keinginan masyarakat Solo, Boawae, Nagekeo untuk terus melestarikan budayanya. Dengan upacara juja ngi’i, penulis melihat beberapa hal pokok yang menjadi refleksi lebih lanjut. Pertama rasa antusias masyarakat untuk menghargai warisan budaya perlu diacungkan jempol, karena banyak warisan budaya di beberapa daerah yang mulai hilang bahkan tidak dilestarikan lagi. Kedua, Upacara juja ngi’i membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Demi keharuman nama Sa’o pu’u, keluarga tidak tanggung- tanggung menghbiskan harta miliknya. Ironis, karena makanan sehari –hari masih jauh dari syarat makanan yang bergizi. Banyak pelajar dan mahasiswa Drop Out, yang salah satu faktor adalah ketidak-mampuan orang tua untuk membiayainya. Oleh karena itu, Penulis mengusulkan agar anggaran upacaraapa saja, seperti juja ngi’i, ditekan dan bisa dialihkan untuk keperluan lain. Karena tujuan dari sebuah upacara adalah untuk melestarikan upacara tersebut, bukan untuk mencari nama dengan menunjukkan harta benda dan kemampuan pelaksana upacara.










DAFTAR PUSTAKA
1.      . http.Mengenai Upacara Adat.com
2.      Poerwadarminta, W.J.S Kamus Besar Bahasa Indonesia.Cetakan ke-10, hal.15









[1] Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga.(Jakarta: Balai Pustaka,2002 ), hal.1250.
[2] Upacara pemulihan kembali, yaitu dengan membunuh seekor kerbau dan dihadiri oleh seluruh masyarakat kampung.
[3]  Ungkapan yang artinya orang yang  menjadikan. Maksudnya adalah orang yang melahirkan ibu tersebut.
[4]  Ungkapan yang artinya anak saudari. Maksudnya adalah saudaradan saudari dari pihak bapak.
[5]  Ulu artinya kepala dan eko artinya ekor.Ulu eko artinya seluruh masyarakat kampung dari  kepala kampung sampai ujung kampung.
[6]  Sa’o artinya rumah dan Pu’u artinya pokok,induk.Rumah induk tempat penyelenggaran upacara juja ngi’i.
[7]  Regha artinya membagi, yakni membagi  makanan  kepada ana weta.
[8] Semacam noken, berukuran 4-5 kg beras, yang dianyam dari daun pandan atau lontar, yang digunakan untuk menaruh makanan.
[9]  Mori artinya Tuan dan Tanah artinya Tanah. Mori Tanah artinya Tuan Tanah.
[10] Ebu Kajo Artinya Nenek Moyang
[11] Ga’e artinya Orang yang menjadikan dan Dewa artinya Orang yang Berkuasa. Ga’e Dewa artinya Tuhan
[12]  Kobe artinya malam, Pa’i artinya tidak tidur dan Foi adalah salah satu alat musik tradisional yang  memainkanya  dengan cara ditiup( seruling ). Kobe Pa’i Foi adalah malam untuk meniup seruling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar