Topik : Upacara Adat Masyarakat Solo, Boawae, Nagekeo,
Flores.
Tujuan
: Memotivasi dan mendorong kaum muda Solo,
Boawae, Nagekeo untuk mengenal
Dan menghargai serta melestarikan
Budaya khususnya adat Juja Ngi’i.
Tesis
: Upacara adat masyarakat Solo,Boawae, Nagekeo
terus dikenal dan dilestarikan guna menjaga agar budaya tidak punah dan Hilang
Kerangka
Karangan
I.
Pendahuluan
II.
Isi
1.
Persiapan
1.1. Perhitungan
Anggaran
1.2. Undangan kepada
Keluarga Dan Masyarakat
1.3. Pembentukkan
Panitia
2.
Upacara Juja Ngi’i Berlangsung
2.1. Kobe Riko Dhea
2.2. Upacara Juja Ngi’i dilakukan
2.2.1. Doa
Kepada Leluhur
2.2.2. Waktu
dan Tempat Upacara
2.2.3. Juja
Ngi’i
2.2.4. Penerimaan
Kembali Anak Gadis Oleh Kedua Orang Tua
2.3.Makan Bersama
3.
Juja Ngi’i Berakhir
3.1.Kobe Pa’i Foi
3.2. Pembubaran
Panitia
III.
Penutup
I.
PENDAHULUAN
Upacara
adat merupakan rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan
tertentu yang berhubungan dengan adat
suatu masyarakat.[1]
Juja Ngii merupakan salah
satu upacara adat bagi kaum wanita yang ada dalam masyarakat Solo, Boawae, Kabupaten Nagekeo,
Flores- Nusa Tenggara Timur. Juja ngii
berasal dari kata juja yang artinya
gosok dan ngii artinya gigi. Jadi juja ngii artinya gosok gigi. Namun juja ngii bukan berarti gosok gigi
seperti yang biasa kita lakukan setiap hari dengan menggunakan sikat dan pasta
gigi tetapi menggosok gigi dengan menggunakan “batu asahan”. Sehingga banyak
orang menyebutnya ‘potong gigi’ daripada ‘gosok gigi’.
Upacara adat juja ngii hanya dikhususkan bagi seorang
remaja puteri yang sudah mengalami haid atau sekitar umur 12-15 tahun. Tujuan juja ngii adalah untuk membuktikan
kepada masyarakat bahwa gadis tersebut sudah dewasa menurut adat, dan boleh di
lamar oleh laki-laki.
Adat setempat melarang keras,
seorang gadis yang belum juja ngii
untuk menikah. Apabila terjadi pelanggaran (misalnya ; seorang gadis hamil) dan
belum juja ngii maka kedua orang tua
nya harus membuat
upacara “para wela”. [2]
Alasan
mendasar penulis memilih tema ini,selain untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan
komposisi, juga mendorong kaum muda Solo, Boawae, Nagekeo dan pembaca di mana
saja, untuk mengenal dan menghargai adat istiadat secara khusus upacara
adat juja
ngi’i.
Karya tulis ini
dibagi dalam tiga bab. Bab satu disajikan perihal persiapan upacara Juja Ngi’i
oleh pihak keluarga dan didukung oleh masyarakat setempat.Kemudian pada bab
dua, penulis akan memaparkan proses berlangsungnya upacara Juja Ngi’i. Dan
dalam bab tiga, penulis akan membahas akhir dari rangkaian upacara Juja Ngi’i, yang ditandai dengan
pembubaran panitia upacara.
II.
ISI
A.Persiapan.
Upacara adat Juja Ngi’i hanya dikhususkan bagi
seorang remaja puteri yang sudah mengalami haid atau berkisar dari umur 12-15
tahun.Tujuan dari juja ngi’i adalah untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa
gadis tersebut sudah dewasa menurut adat dan boleh dilamar oleh laki-laki. Adat
setempat melarang keras seorang gadis yang belum juja ngi’i untuk menikah.Apabila terjadi pelanggaran ( misalnya
seorang gadis hamil sebelum juja ngi’i
) maka kedua orang tuanya harus membuat
upacara para wela.
Upacara adat juja ngi’i biasanya berlangsung pada
musim panas yaitu sekitar bulan juni-november. Ketika seorang ibu mengetahui
bahwa remaja puterinya mulai beranjak dewasa, maka ia akan berunding dengan suaminya saat
yang tepat untuk pelaksanaan upacara adat juja
ngi’i. Selain itu sebagai seorang ibu ia juga menjelaskan kepada puterinya,
tentang pentingnya upacara adat juja
ngi’i.Hal ini penting untuk persiapan bagi sang puteri menyiapkan diri
lahir dan batin menyambut upacara adat juja
ngi’i.
1.1.Perhitungan
Anggaran
Upacara
adat yang melibatkan seluruh masyarakat kampung,akan membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Mulai dari makan minum sampai sirih pinang harus dipersiapkan
oleh pihak keluarga.Anggaran suatu upacara adat biasanya nampak pada
barang-barang yang dipersiapkan pihak keluarga.barang-barang itu seperti;
beras, hewan kurban,( babi, anjing, kambing, ayam), kain adat,tuak, rokok, dan
sirih pinang. Semua anggaran ini diperhitungkan dan dipersiapkan pihak
keluarga, setahun sebelum upacara adat juja
ngi’i berlangsung.
1.2.Undangan kepada keluarga
dan masyarakat
Setelah
pihak keluarga menyiapkan anggaran,tahap berikut adalah mengundang keluarga
dari pihak ibu atau biasa disebut mori ga’e [3]
dan keluarga bapak atau biasa disebut ana
weta.[4] Pihak
mori ga’e hanya terdiri 5 – 7 kepala
keluarga. Sedangkan pihak ana weta terdiri dari 10 – 20 kepala keluarga. Pihak ana weta yang diundang tidak hanya
keluarga dekat tetapi juga keluarga jauh.Undangan biasanya disampaikan secara
lisan, dengan mengunjungi keluarga yang akan diundang. Selain keluarga dekat,
undangan juga ditujukan kepada Ulu eko.[5]
Pihak keluarga akan memberitahukan kepada kepala kampung, selanjutnya diumumkan
kepada masyarakat saat ibadah lingkungan atau ibadah hari minggu.Undangan
kepada keluarga dan ulu eko diadakan satu bulan sebelum upacara juja ngi’i berlangsung.
1.3.Pembentukan Panitia
Dalam suatu upacara adat yang melibatkan banyak orang,
dibutuhkan panitia untuk mengkoordinir jalanya sebuah upacara. Ketua panitia
beserta anggotanya akan memperhatikan kelancaran upacara. Apabila ada sesuatu
yang kurang, ketua panitia akan berkonsultasi dengan pihak keluarga untuk
mencari jalan keluar terbaik, demi suksesnya upacara tersebut. Pemilihan ketua
panitia dilakukan secara aklamasi. Orang yang diaanggap mampu mengayomi
masyarakat akan dipercayakan sebagai ketua panitia. Setelah pemilihan ketua
panitia dilanjutkan dengan pembagian seksi kerja. Setiap orang yang
dipercayakan untuk menangani salah satu seksi kerja akan bertanggung jawab terhadap semua tugas yang menyangkut dengan
seksinya.
B.Upacara juja ngi’i
berlangsung.
1.kobe riko dhea.
Pada hari yang ditentukan semua keluarga dan masyarakat
mulai berdatangan ke sa’o pu’u.[6] Pada
hari pertama, acara dimulai jam 20.00. Malam pertama disebut kobe riko dhea. Kobe artinya malam, riko
artinya kumpul dan dhea artinya beras. Kobe
riko dhea artinya malam pengumpulan beras.Namun bukan hanya beras yang
dikumpulkan tetapi juga semua barang- barang yang dibawa oleh keluarga
besar.Pihak ana weta membawa
beras,rokok, kue, kopi-gula, sirih pinang, tuak, ayam,anjing dan kambing. Pihak
mori ga’e masing-masing kepala
keluarga akan membawa babi besar dan kain adat.Ukuran babi bervariasi.Semua
barang yang dibawakan oleh pihak ana weta
dan mori ga’e dikumpulkan di sa’o pu’u. Selanjutnya pihak keluarga
akan menyerahkan babi dua ekor kepada pihak ana
weta untuk dimasak dan dibantu oleh ulu
eko. Sedangkan untuk pihak mori ga’e masing-masing keluarga mendapat kambing atau
anjing dan mereka akan memasak sendiri apa yang diberikan oleh sa’o pu’u. Sedangkan nasi dimasak
dirumah induk oleh ulu eko.Yang unik dalam memasak nasi untuk kobe
riko dhea , yakni nasi dimasak dalam
dua jenis. Jenis yang pertama ditanak matang dan dimakan pada saat makan malam
bersama, sedangkan jenis yang kedua ditanak setengah matang untuk
dibagi-bagikan kepada pihak ana weta.Setelah
semua makanan selesai dimasak,acara selanjutnya adala regha ana weta.[7] Ketua panitia beserta salah satu anggota
keluarga dari sa’o pu’u akan menuju
rumah penginapan ana weta untuk
membagi ripe.[8]
Masing-masing kepala keluarga akan mendapat satu ripe. Bagi ana weta yang
membawa barang besar seperti kambing atau anjing akan mendapat dua ripe.Setelah pembagian ripe selesai, akan dilanjutkan dengan
pembagian makanan.Pertama seorang ibu akan membagi nasi setengah matang lalu
menyusul pembagian daging babi. Bagi ana
weta yang membawa beras,kopi,kelapa, rokok,kue,sirih pinang akan mendapat
nasi setengah matang dan daging babi yang sudah dimasak. Sedangkan mereka yang
membawa kambing, anjing, atau ayam jantan akan ditambah dengan daging babi yang
masih mentah sebesar kepalan orang dewasa.
2. Upacara
Juja
ngi’i dilakukan.
Keesokan harinya sekitar jam 08.00 ulu eko kembali ke sa’o pu’u untuk bekerja sesuai dengan seksi yang dibagikan. Ketua
panitia dan kepala keluarga dari sa’o
pu’u akan berunding, kira- kira berapa hewan yang akan dibunuh. Dihari yang
kedua ini daging dimasak gabung artinya tidak ada pemisahan antara ana weta dan mori ga’e seperti pada kobe
riko dhea. Ulu eko akan bekerja
sesuai dengan seksinya masing- masing.
Ketua Panitia akan memilih seorang
bapak yang berpengalaman dalam juja ngi’i
dan lima orang ibu. Keenam orang ini adalah tim khusus untuk memandu upacara juja ngi’i. Ibu- ibu akan menyiapkan
bahan yang diperlukan dalam juja ngi’i
seperti batu asah, sepotong kayu dari pohon enau ukuran 5-6 cm , beberapa helai
kecil kain adat, dan tempurung kelapa. Remaja puteri yang menjadi pemeran utama
dalam upacara juja ngi’i mengenakan
pakaian adat. Selain remaja puteri, anggota tim ini juga akan mengenakan
pakaian adat. Ibu- ibu mengenakan baju adat dan kain adat dililit sebatas
pinggang ke bawah demikian juga dengan bapak yang menjadi anggota tim
mengenakan pakaian adat pria, sedangkan remaja puteri mengenakan kain adat
dengan menutup dari punggung sampai ke mata kaki. Hal ini sebagai bukti bahwa
remaja puteri tersebut belum pernah juja
ngi’i. Pihak keluarga menyediakan satu buah kelapa muda dan satu ekor anak
ayam. Pada bagian atas kelapa muda dilubangi, ayam disembelih dan darahnya
dimasukkan ke dalam buah kelapa.
a. Doa
Kepada Leluhur
Dalam
ruang tengah sa’o pu’u, remaja puteri
dan anggota tim berkumpul bersama kedua orang tua sang puteri, membentuk posisi
duduk setengah lingkaran. Dihadapan mereka duduk seorang kepala adat sambil
memegang buah kelapa. Lalu kepala adat mereciki mereka dengan air kelapayang
sudah tercampur dengan darah ayam. Selama percikkan berlangsung keala adat
mengucapkan kata- kata adat ( berupa doa ) yang ditujukan kepada mori tana[9] dan ebu kajo[10].
Dalam upacara adat, masyarakat setempat menyebut mori tana sedangkan dalam
upacara kegerejaan, masyrakat menyebut Ga’e
dewa.[11]
Perciikan
campuran air kelapa muda dan darah ayam ini, mau mengatakan kepada mori tanah dan ebu kajo bahwa semoga tuhan memelihara,dan melindungi dalam
perjalanan hidupnya.Tujuan lain dari percikan ini adalah agar proses upacara
adat juja ngi’i dapat berjalan lancar sesuai rencana.Setelah proses ini selesai,
anggota tim dan remaja puteri berpamitan dengan kedua orangtuanya dan kepala
adat lalu menuju ke tempat juja ngi’i
berlangsung.
b. Waktu
dan Tempat Upacara
Waktu untuk juja ngi’i, tidak ada aturan yang baku. Biasanya waktu juja ngi’i tergantung persiapan
dari pihak keluarga dan anggota tim
yaitu sekitar jam 09.00- 11.00. Tempat upacara juja ngi’i adalah di salah satu rumah ulu eko yang agak jauh dari sa’o pu’u. Tujuanya adalah tidak dilihat
orang dan jauh dari keramaian.
c.
Juja
ngi’i
Dalam
perjalanan menuju tempat proses juja
ngi`i, didahului oleh seorang ibu sebagai penunjuk jalan, disusul remaja
puteri, lalu ibu – ibu yang lain sambil menjinjing tikar dan bantal, serta yang
terakhir seorang bapak sebagai pemotong gigi. Sampai di rumah yang dituju tikar
dibentang dan remaja putri tidur telentang di atasnya. Sepotong kayu dari enau
ukuran dua jari orang dewasa dimasukan ke dalam mulut dan digigit oleh remaja
putri tersebut. Selai kayu dibantu oleh seorang ibu untuk mendorong bibir
bagian atas dengan sehelai kain adat dan ibu yang lain mendorog bibir bagian
bawah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses juja ngi`i. Seorang ibu lain bertugas memegang tempurung kelapa
untuk menadah ludah yang dibuang, sebagian ibu yang lain membantu menahan kaki
dan tangan remaja putri tersebut, kala – kalau ia berontak saat juja ngi`i berlangsung.
Setelah semua anggota tim berada
pada posisi masing – masing, juja ngi`i
segera berlangsung. Gigi sang remaja putri dipendekan dengan batu asah. Bapak
yang bertugas untuk juja ngi`i
menggosok secara berulang – ulang sampai semua gigi sama pendek atau terlihat
sesuai dengan gigi yang lain. Setelah itu gigi digosok lagi untuk menipiskan
permukaan gigi. Juja ngi`i akan
berlangsung cepat jika remaja puteri tersebut tenang mengikuti apa yang
disampaikan anggota tim. Selama proses juja
ngi`i berlangsung remaja – remaja
puteri yang belum juja ngi`i , tidak
boleh menyaksikan upacara tersebut. Apabila dilanggar, mereka akan mengalami
kesulitan dalam upacara juja ngi`i
mereka di kemudiam hari. Kesulitan tersebut antara lain; gigi akan berdarah,
bahkan tercopot dari rahangnya.
Setelah upacara juja ngi`i selesai dilakukan, semua
perlengkapan upacara juja ngi`i,
yaitu sepotong kayu, kain kecil, tempurung kelapa dibawa pulang dan dikuburkan di belakang rumah sang puteri
yang telah menjadi gadis tersebut. Sedangkan batu asah disimpan oleh pemotong
gigi untuk juja ngi`i remaja puteri
lain.
d.
Anak Gadis Diterima Kembali Oleh Kedua
Orang Tuanya.
Dalam
perjalanan pulang puteri tersebut mengenakan kain adat, tidak seperti
sebelumnya, tetapi hanya melilit sebatas pinggang kebawah layaknya seorang ibu.
Hal ini sebagai bukti bahwa Ia bukan remaja lagi melainkan sudah menjadi gadis
dewasa. Posisi jalan didahului sang gadis, menyusul lima orang ibu dan seorang
bapak paling belakang. Sampai di depan pintu Sa`o pu`u mereka disambut
oleh kedua orang tua gadis dan kepala adat. Mereka duduk di ruang tamu, dengan
posisi lingkaran penuh, boleh bersantai – santai makan sirih pinang atau
merokok. Bersama anggota tim, sang gadis, tua adat, mereka meneguhkan upacara juja ngi`i
dengan makan siang bersama.
3. Makan
bersama
Setelah anggota tim juja ngi`i makan bersama, acara
selanjutnya adalah makan bersama. Makan siang di hari kedua berbeda dengan makan malam saat kobe riko dhea. Seluruh ulu
eko, mori ga`e, ana weta dan semua orang yang mengambil
bagian dalam upacara adat juja ngi`i,
duduk dan makan bersama – sama mendyukuri upacara ada tersebut. Setelah makan
siang, beberapa anggota ulu eko dari
rumah ke rumah membagi makanan berupa nasi dan daging, masing – masing satu
piring untuk satu keluarga. Pembagian makanan dari ulu-kampung samapai ke eko-
kampung. Hal ini merupakan suatu ungkapan dan harapan semoga sang gadis
yang baru merayakan upacara juja ngi`i
mendapat berkah yang melimpah dalam perjalanan hidup selanjutnya.
C. Juja Ngi’i Berakhir
Setelah
makan siang, mori ga`e dan ana weta pulang ke rumah masing – masing
dan kembali lagi ke sa`o pu`u pada
malam hari. Ulu eko akan memasak
makan untuk acara pada malam harinya.
Upacara untuk mensyukuri upacara juja ngi’i berpuncak pada malam kedua. Malam kedua disebut Kobe Pa’i Foi. Ketika semua orang
berkumpul, acara makan malam dimulai.Setelah makan malam dilanjutkan dengan
meniup foi. Orang yang berpengalaman
akan meniup foi sedangkan yang lain
akan berpantun sesuai irama.Bapak-bapak berpantun menyindir ibu- ibu, begitu juga
sebaliknya.Orang muda juga tidak ketinggalan. Mereka berpantun menyindir antar
orang muda.Kobe pa’i foi sebenarnya
malam yang ditunggu- tunggu kaum muda. Mereka berkumpul, berpantun dan berbagi
cerita. Dengan adanya kobe pa’i foi,
cinta kasih antara pemuda dan pemudi dengan sendirinya akan tumbuh. Ada rasa
persahabatan antara yang satu dengan yang lain. Dari pertemuan seperti ini ada
muda –mudi yang merajut persahabatan mereka menuju ke jenjang perkawinan.
Dalam Kobe Pa’i foi,
semua orang berpantun sambil minum tuak dan makan daging. Syair- syair pantun
seakan –akan tidak pernah habis. Kobe
Pa’i foi akan berlangsung, sampai menjelang matahari terbit. Dengan
terbitnya matahari pada hari ketiga, maka berakhirlah upacara adat juja ngi’i.
2. Panitia Dibubarkan
Setelah semua upacara adat juja ngi’i berakhir, ketua panitia dan keluarga dari sa’o pu’u akan menentukan suatu malam
untuk mengevaluasi semua kegiatan upacara juja
ngi’i. Dalam malam evaluasi semua ulu
eko hadir, kemudia setiap seksi akan mempertanggung jawabkan semua
pekerjaan yang mereka lakukan. Pihak keluarga akan mengucapkan terimah kasih
kepada ketua panitia dan ulu eko.
Setelah malam evaluasi berakhir, semua orang pulang ke rumah masing- masing.
III.
PENUTUP
Perkembangan zaman seakan tidak menyurutkan
keinginan masyarakat Solo, Boawae, Nagekeo untuk terus melestarikan budayanya.
Dengan upacara juja ngi’i, penulis
melihat beberapa hal pokok yang menjadi refleksi lebih lanjut. Pertama rasa
antusias masyarakat untuk menghargai warisan budaya perlu diacungkan jempol,
karena banyak warisan budaya di beberapa daerah yang mulai hilang bahkan tidak
dilestarikan lagi. Kedua, Upacara juja
ngi’i membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Demi keharuman nama Sa’o pu’u, keluarga tidak tanggung-
tanggung menghbiskan harta miliknya. Ironis, karena makanan sehari –hari masih
jauh dari syarat makanan yang bergizi. Banyak pelajar dan mahasiswa Drop Out,
yang salah satu faktor adalah ketidak-mampuan orang tua untuk membiayainya.
Oleh karena itu, Penulis mengusulkan agar anggaran upacaraapa saja, seperti
juja ngi’i, ditekan dan bisa dialihkan untuk keperluan lain. Karena tujuan dari
sebuah upacara adalah untuk melestarikan upacara tersebut, bukan untuk mencari
nama dengan menunjukkan harta benda dan kemampuan pelaksana upacara.
DAFTAR PUSTAKA
1. .
http.Mengenai Upacara Adat.com
2. Poerwadarminta,
W.J.S Kamus Besar Bahasa Indonesia.Cetakan
ke-10, hal.15
[1] Departemen Pendidikan
Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi Ketiga.(Jakarta: Balai Pustaka,2002
), hal.1250.
[2] Upacara pemulihan
kembali, yaitu dengan membunuh seekor kerbau dan dihadiri oleh seluruh
masyarakat kampung.
[3] Ungkapan yang artinya orang yang menjadikan. Maksudnya adalah orang yang
melahirkan ibu tersebut.
[4] Ungkapan
yang artinya anak saudari. Maksudnya adalah saudaradan saudari dari pihak
bapak.
[5] Ulu artinya kepala dan eko artinya ekor.Ulu
eko artinya seluruh masyarakat kampung dari
kepala kampung sampai ujung kampung.
[6] Sa’o artinya rumah dan Pu’u artinya
pokok,induk.Rumah induk tempat penyelenggaran upacara juja ngi’i.
[8] Semacam noken, berukuran
4-5 kg beras, yang dianyam dari daun pandan atau lontar, yang digunakan untuk
menaruh makanan.
[11] Ga’e artinya Orang yang
menjadikan dan Dewa artinya Orang yang Berkuasa. Ga’e Dewa artinya Tuhan
[12] Kobe artinya malam, Pa’i artinya tidak tidur
dan Foi adalah salah satu alat musik tradisional yang memainkanya
dengan cara ditiup( seruling ). Kobe Pa’i Foi adalah malam untuk meniup
seruling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar